Kurikulum 2013 telah diterapkan sejak Juli 2013 di beberapa sekolah
yang menjadi pilot project. Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Bidang Pendidikan Dr Ir H Musliar Kasim MS menyatakan, saat ini
kurikulum di Indonesia membutuhkan hal yang dapat menghasilkan insan
Indonesia yang produktif, kreatif, inovatif dan afektif.
Insan semacam itu hanya bisa dihasilkan melalui kurikulum yang
mengedepankan penguatan sikap, keterampilan dan pengetahuan yang
terintegrasi. Menarik untuk mencermati apa yang disampaikan oleh beliau,
di mana teknologi tidak dimasukkan dalam aspek penguatan Kurikulum
2013.
Mengapa hanya sikap, keterampilan dan pengetahuan terintegrasi saja
yang menjadi penguatan dalam Kurikulum 2013? Padahal, ilmu pengetahuan
dan teknologi merupakan dua kutub yang tidak bisa terpisahkan, keduanya
merupakan suatu bagian yang tidak lepas dari kehidupan manusia dari awal
peradaban sampai akhir kehidupan manusia. Ilmu pengetahuan dan
teknologi terus berkembang seiring perkembangan peradaban manusia di
dunia. Dalam Kurikulum 2013, peranan teknologi dipandang sebelah mata
karena teknologi hanya dimaknai sebagai alat bantu dalam proses
pembelajaran.
Teknologi belum dimaknai sebagai ilmu yang harus dipelajari dan
dikembangkan oleh guru maupun peserta didik. Kalau pandangan seperti ini
masih terus dipertahankan oleh para pemangku kebijakan, maka sampai
kapan bangsa ini hanya menjadi konsumen dalam pemakaian teknologi bukan
sebagai produsen yang mampu mengembangkan berbagai bentuk rekayasa
perangkat teknologi.
Sangat mengherankan memang, di tengah perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi yang pesat dalam pusaran globalisasi, justru
pemangku kebijakan di negeri ini menghapus mata pelajaran Teknologi
Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk jenjang pendidikan SMP/MTs dan
SMA/MA.
Alasan ini tentunya tidak masuk akal apabila kemudian pemerintah
menganggap TIK tidak perlu menjadi pelajaran tersendiri melainkan TIK
cukup terintegrasi dalam semua mata pelajaran. Tidak ada lagi ruang bagi
guru dan peserta didik untuk memanfaatkan TIK sebagai penghasil produk
teknologi yang dapat bermanfaat bagi orang banyak.
Sebuah perbandingan yang cukup tajam a p a b i l a kita membandingkan
fenomena ini dengan kondisi yang ada di negara lain, di mana pemerintah
Inggris sangat fokus dengan pelajaran TIK dan memberikan beasiswa
khusus untuk para pengajarnya. Sementara pemerintah Singapura bahkan
mendorong penggunaan TIK secara nasional.
Mengapa Harus Alergi
Alergi terhadap masuknya muatan teknologi dalam kurikulum justru akan
menjadikan kurikulum kurang dinamis. Tanpa kehadiran teknologi dalam
sistem pembelajaran di sekolah, semakin menjauhkan peserta didik pada
ketertinggalan penguasaan teknologi terkini.
Peserta didik tidak diberi hak untuk mendapatkan kondisi up to date
dari perkembangan teknologi global, dan peserta didik juga tidak diberi
kesempatan untuk berkreativitas dalam pengembangan perangkat teknologi
melalui peran guru yang berkompeten dalam masalah itu. Seakan dilepas
begitu saja dalam mencari sumber informasi secara mandiri dengan dalih
segala informasi sudah tersedia lewat internet tinggal kita mencari dan
mengembangkannya sendiri.
Bagaimanapun dan apa pun bentuknya, tanpa sentuhan guru yang
berkompeten dalam bidang teknologi informasi dan tidak adanya pelajaran
teknologi informasi yang mewadahinya, tentunya semua ini akan sia-sia
karena tidak ada kontrol dan penguatan terhadap pemanfaatan teknologi
informasi.
Apabila pelajaran TIK dikemas dengan muatan kurikulum yang
menyesuaikan kondisi global, tentunya menghap u s p e l a - j a r a n
TIK bukan merupakan solusi yang harus dilakukan oleh pemerintah. Ironis
memang, di tengah persaingan global yang menuntut semua komponen harus
menguasai teknologi, yang terjadi justru teknologi informasi belum
mendapat tempat yang layak dalam Kurikulum 2013. (24)
—dikutip dari : Joko Sulistiyono SKom, guru SMA Negeri 6 Semarang