Sabtu, 30 November 2013

Kurikulum 2013 Alergi terhadap Teknologi

Kurikulum 2013 telah diterapkan sejak Juli 2013 di beberapa sekolah yang menjadi pilot project. Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Pendidikan Dr Ir H Musliar Kasim MS menyatakan, saat ini kurikulum di Indonesia membutuhkan hal yang dapat menghasilkan insan Indonesia yang produktif, kreatif, inovatif dan afektif.

Insan semacam itu hanya bisa dihasilkan melalui kurikulum yang mengedepankan penguatan sikap, keterampilan dan pengetahuan yang terintegrasi. Menarik untuk mencermati apa yang disampaikan oleh beliau, di mana teknologi tidak dimasukkan dalam aspek penguatan Kurikulum 2013.

Mengapa hanya sikap, keterampilan dan pengetahuan terintegrasi saja yang menjadi penguatan dalam Kurikulum 2013? Padahal, ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan dua kutub yang tidak bisa terpisahkan, keduanya merupakan suatu bagian yang tidak lepas dari kehidupan manusia dari awal peradaban sampai akhir kehidupan manusia. Ilmu pengetahuan dan teknologi terus berkembang seiring perkembangan peradaban manusia di dunia. Dalam Kurikulum 2013, peranan teknologi dipandang sebelah mata karena teknologi hanya dimaknai sebagai alat bantu dalam proses pembelajaran.

Teknologi belum dimaknai sebagai ilmu yang harus dipelajari dan dikembangkan oleh guru maupun peserta didik. Kalau pandangan seperti ini masih terus dipertahankan oleh para pemangku kebijakan, maka sampai kapan bangsa ini hanya menjadi konsumen dalam pemakaian teknologi bukan sebagai produsen yang mampu mengembangkan berbagai bentuk rekayasa perangkat teknologi.
Sangat mengherankan memang, di tengah perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang pesat dalam pusaran globalisasi, justru pemangku kebijakan di negeri ini menghapus mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk jenjang pendidikan SMP/MTs dan SMA/MA.

Alasan ini tentunya tidak masuk akal apabila kemudian pemerintah menganggap TIK tidak perlu menjadi pelajaran tersendiri melainkan TIK cukup terintegrasi dalam semua mata pelajaran. Tidak ada lagi ruang bagi guru dan peserta didik untuk memanfaatkan TIK sebagai penghasil produk teknologi yang dapat bermanfaat bagi orang banyak.
Sebuah perbandingan yang cukup tajam a p a b i l a kita membandingkan fenomena ini dengan kondisi yang ada di negara lain, di mana pemerintah Inggris sangat fokus dengan pelajaran TIK dan memberikan beasiswa khusus untuk para pengajarnya. Sementara pemerintah Singapura bahkan mendorong penggunaan TIK secara nasional.

Mengapa Harus Alergi
Alergi terhadap masuknya muatan teknologi dalam kurikulum justru akan menjadikan kurikulum kurang dinamis. Tanpa kehadiran teknologi dalam sistem pembelajaran di sekolah, semakin menjauhkan peserta didik pada ketertinggalan penguasaan teknologi terkini.
Peserta didik tidak diberi hak untuk mendapatkan kondisi up to date dari perkembangan teknologi global, dan peserta didik juga tidak diberi kesempatan untuk berkreativitas dalam pengembangan perangkat teknologi melalui peran guru yang berkompeten dalam masalah itu. Seakan dilepas begitu saja dalam mencari sumber informasi secara mandiri dengan dalih segala informasi sudah tersedia lewat internet tinggal kita mencari dan mengembangkannya sendiri.

Bagaimanapun dan apa pun bentuknya, tanpa sentuhan guru yang berkompeten dalam bidang teknologi informasi dan tidak adanya pelajaran teknologi informasi yang mewadahinya, tentunya semua ini akan sia-sia karena tidak ada kontrol dan penguatan terhadap pemanfaatan teknologi informasi.
Apabila pelajaran TIK dikemas dengan muatan kurikulum yang menyesuaikan kondisi global, tentunya menghap u s p e l a - j a r a n TIK bukan merupakan solusi yang harus dilakukan oleh pemerintah. Ironis memang, di tengah persaingan global yang menuntut semua komponen harus menguasai teknologi, yang terjadi justru teknologi informasi belum mendapat tempat yang layak dalam Kurikulum 2013. (24)
—dikutip dari : Joko Sulistiyono SKom, guru SMA Negeri 6 Semarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar